Pro dan Kontra Untuk Kesetaraan Gender


Sejak dulu hingga sekarang, topik ini merupakan topik 'sensitif' yang selalu menimbulkan perdebatan, yakni "apakah kesetaraan gender dapat dicapai?" atau "apakah pria lebih superior daripada wanita?". Pihak pro mengatakan kesetaraan gender memang harus dicapai dan diskriminasi gender haruslah dihilangkan, karena baik wanita ataupun pria mempunyai hak asasi manusia dan peluang yang sama dalam hidup maupun kerja (diskriminasi gender paling sering terjadi di dunia kerja).

Pihak kontra mengatakan bahwa yang mereka lakukan bukanlah diskriminasi gender melainkan menghargai orang tersebut sebagai wanita. Jika memang para wanita ingin kesetaraan gender maka mereka juga harus siap kehilangan kelebihan yang mereka miliki, dimana para pria menganggap wanita adalah pihak harus dilindungi dan semua pekerjaan keras juga harus siap dilakukan oleh para wanita.

Uniknya, di sisi lain juga ada 'teriakan' dari kaum pria yang menginginkan kesetaraan gender, jika seorang wanita diperkosa oleh pria maka itu adalah sebuah tindakan pelanggaran hukum yang sangat keras, tapi bagaimana jika pria diperkosa oleh wanita (sudah pernah terjadi)? 

Jika pria memukul wanita itu adalah tindakan penganiayaan, tapi bagaimana jika wanita menampar pria? Pihak Kontra menganggap itu adalah karena si pria terlalu lemah dan jika ia ditampar oleh wanita itu mungkin memang kesalahannya.

Kesimpulan Gender Dalam Dunia Pendidikan


Kesetaraan dan keadilan gender dalam pendidikan menjadi semakin mendesak.Perempuan dan laki-laki harus mendapatkan kesempatan yang sama dalam akses pendidikan. Semua orang, baik perempuan maupun laki-laki mempunyai hak ataukesempatan untuk sekolah lebih tinggi.

Gender di era global berkaitan dengan kesadaran, tanggung jawab laki-laki, pemberdayaan perempuan, hak-hak perempuan termasuk hak dalam pendidikan.Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menghubungkan semua konsep gender untuk tujuan kesehatan dan kesejahteraan bersama. 

Kesetaraan gender dalam proses pembelajaran memerlukan keterlibatan Depdiknas sebagai pengambil kebijakan di bidang pendidikan, sekolah secara kelembagaan dan terutama guru. Dalam hal ini diperlukan standardisasi buku ajar yang salah satu kriterianya adalah berwawasan gender. Selain itu, guru akan menjadi agen perubahan yang sangat menentukan bagiterciptanya kesetaraan gender dalam pendidikan melalui proses pembelajaran yang peka gender.

Problematika Gender dalam Pendidikan


Dalam aspek-aspek kehidupan bermasyarakat, -seperti aspek pendidikan,kesehatan, ekonomi, politik, agama dan lainnya-dapat dilihat bagaimana ketimpangan gender antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan masih banyak dalam realita. Salah satu aspek yang menunjukkan adanya bias gender dalam pendidikan dapat dilihat pada perumusan kurikulum dan juga rendahnya kualitas pendidikan. 

Dalam UUD 1945Pasal 31 Ayat 1 dinyatakan bahwa “Tiap-tiapwarga Negara berhak mendapatkan pengajaran”. Walaupun pernyataan pasal tersebut mengandung arti bahwa baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak yang sama dalam mengecap pendidikan formal, namun dalam kenyatannya masih ada anggapan yang menghambat wanita untuk tidak ikutserta dalam pendidikan formal.

Implementasi kurikulum pendidikan sendiri terdapat dalam buku ajar yang digunakan di sekolah-sekolah. Realitas yang ada, dalam kurikulum pendidikan(agama ataupun umum) masih terdapat banyak hal yang menonjolkan laki-laki berada pada sektor publik sementara perempuan berada pada sektor domestik.Dengan kata lain, kurikulum yang memuat bahan ajar bagi siswa belum bernuansa netral gender,baik dalam gambar ataupun ilustrasi kalimat yang dipakai dalam penjelasan materi.

Dalam buku ajar, banyak ditemukan gambar maupun rumusan kalimatyang tidak mencerminkan kesetaraan gender. Misalnyagambar seorang pilotselalu laki-laki karena pekerjaan sebagai pilot memerlukan kecakapan dankekuatan yang hanya dimiliki oleh laki-laki. Bias gender juga dapat dilihat dalamgambar guru yang sedang mengajar di kelas selalu perempuan karena guru selalu diidentikan dengan tugas mengasuh atau mendidik.Ironisnya siswa pun melihat bahwa meski guru-gurunya lebih banyak berjenis kelamin perempuam,tetapi kepala sekolahnya umumnya laki-laki.

Pandangan Pendidikan Terhadap Gender


Pendidikan tidak hanya dianggap dan dinyatakan sebagai unsur utama dalam upaya pencerdasan bangsa,melainkan juga sebagai produk atau konstruksisosial, maka dengan demikian pendidikan juga memiliki andil bagi terbentuknya relasi gender di masyarakat.Pendidikan harus menyentuh kebutuhan juga harus relavan dengan tuntutan zaman. Perempuan dalam pendidikannya juga diarahkan agar mendapatkan kualifikasi tersebut sesuai dengan taraf kemampuan dan minatnya.

Departemen Pendidikan Nasional berupaya menjawab isu tersebut melalui perubahan kurikulum dan rupanya telah terakomodasi dalam kurikulum 2004 tinggal bagaimana mengaplikasikannya dalam bahan ajar terutama isu gender meskipun pada kenyataannya masih membawadampak bias gender dalammasyarakat yang berakibat pada kurang optimalnya sumber daya manusia yangoptimal yang unggul disegala bidang tanpa memandang jenis kelamin

Dengan demikian, pendidikan seharusnya memberikanmata pelajaranyang sesuai dengan bakat minat setiap individu, khususnya adalah perempuan.

Data yang Menunjukan Perempuan Lebih Dirugikan Daripada Laki-laki


Data yang ada menunjukkan bahwa perempuan secara konsisten berada pada posisi yang lebih dirugikan daripada laki-laki. Berikut adalah isu-isu utama / sejumlah contoh kesenjangan gender di berbagai sektor yang masih perlu diatasi :

1. Pola Pernikahan yang merugikan pihak perempuan
Pernikahan dini adalah suatu hal yang lazim di Indonesia, khususnya di daerah pedesaan. Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa 2004 memperkirakan 13% dari perempuan Indonesia menikah di umur 15 – 19 tahun.

Dalam hukum Islam, laki-laki memang diperbolehkan memperistri lebih dari satu orang. Akan tetapi, dalam Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 menyatakan bahwa izin untuk memiliki banyak istri dapat diberikan jika seseorang dapat memberikan bukti bahwa istri pertamanya tidak dapat melaksanakan tanggung jawabnya sebagai istri. Pegawai Negeri Sipil (PNS) Indonesia pun dilarang mempraktekkan poligami.

Hukum perkawinan di Indonesia menganggap pria sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah keluarga. Sedangkan, tugas-tugas rumah tangga termasuk membesarkan anak umumnya dilakukan oleh perempuan.

2. Kesenjangan Gender di pasar kerja
Adanya segmentasi jenis kelamin angkatan kerja, praktik penerimaan dan promosi karyawan yang bersifat deskriminatif atas dasar gender membuat perempuan terkonsentrasi dalam sejumlah kecil sektor perekonomian, umumnya pada pekerjaan-pekerjaan berstatus lebih rendah daripada laki-laki.

Asumsi masyarakat yang menyatakan bahwa pekerjaan perempuan hanya sekedar tambahan peran dan tambahan penghasilan keluarga juga menjadi salah satu sebab rendahnya tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan.

3. Kekerasan Fisik
Indonesia telah menetapkan berbagai undang-undang untuk melindungi perempuan dari kekerasan fisik. Akan tetapi,  terdapat beberapa bukti yang menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah umum di Indonesia. Menurut survey Demografi dan Kesehatan 2003, hampir 25% perempuan yang pernah menikah menyetujui anggapan bahwa suami dibenarkan dalam memukul istrinya karena salah satu alasan berikut: istri berbeda pendapat, istri pergi tanpa memberitahu, istri mengabaikan anak, atau istri menolak untuk melakukan hubungan intim dengan suami.

Perdagangan perempuan dan prostitusi juga merupakan ancaman serius bagi perempuan Indonesia, terutama mereka yang miskin dan kurang berpendidikan. Meskipun pelecehan seksual dianggap kejahatan, akan tetapi hal itu umum ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Departemen Kesehatan Indonesia tahun 2004 menemukan bahwa 90% perempuan mengaku telah mengalami beberapa bentuk pelecehan seksual di tempat kerja.

4. Hak Kepemilikan
Hukum Perdata di Indonesia menetapkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak kepemilikan yang sama. Perempuan di Indonesia memiliki hak hukum untuk akses ke properti, tanah dan memiliki akses ke pinjaman bank dan kredit, meskipun terkadang masih terdapat diskriminasi di beberapa bagian contohnya: suami berhak untuk memiliki nomor pajak pribadi, sedangkan istri harus dimasukkan nomor pajak mereka dalam catatan suami.

Untuk meningkatkan kesadaran perempuan akan isu kesetaraan gender ini dan mengedukasi pekerja perempuan mengenai hak-haknya sebagai pekerja perempuan, program kampanye Labour Rights For Women  yang ditujukan bagi pekerja perempuan muda tidak ada henti-hentinya menyuarakan dan mengedukasi perempuan. Lewat event dan pelatihan Labour Rights For Women yang bertema “Gender Equality”, perempuan diharapkan dapat lebih terpacu untuk membela hak mereka dalam kesempatan kerja/karir, hak maternal dan keseimbangan antara keluarga dan karir.

Kesetaraan gender tidak harus dipandang sebagai hak dan kewajiban yang sama persis tanpa pertimbangan selanjutnya. Malu rasanya apabila perempuan berteriak mengenai isu kesetaraan gender apabila kita artikan segala sesuatunya harus mutlak sama dengan laki-laki. Karena pada dasarnya, perempuan tentunya tidak akan siap jika harus menanggung beban berat yang biasa ditanggung oleh laki-laki. Atau sebaliknya laki-laki pun tidak akan bisa menyelesaikan semua tugas rutin rumah tangga yang biasa dikerjakan perempuan.

Implementasi Perspektif Gender di Dunia Kerja


Mungkin masih ada pemikiran yang mengatakan bahwa penempatan perempuan jauh dari keluarganya tidak manusiawi. Namun jika kita memandang dari prespektif gender, sebenarnya sama saja, laki-laki pun tidak seharusnya jauh dari keluarganya. Karena baik laki-laki maupun perempuan secara bersama-sama memiliki tanggung jawab yang besar dalam membangun generasi mendatang.

Dengan kepedulian pada pengarusutamaan gender, beberapa tahun lalu pegawai perempuan di salah satu unit eselon I Kemenkeu yang akan dipromosikan diberitahu lebih dulu. Ia diberikan kesempatan untuk mempertimbangkan dan mendiskusikan dengan keluarganya tentang kemungkinan untuk mengambil kesempatan tersebut.

Langkah yang dilakukan ini cukup adil dan manusiawi, sehingga seseorang diberikan hak untuk 'memilih' dan 'menentukan' hidup dan karirnya. Jika mau mengambil kesempatan tersebut, maka akan ada konsekuensi lain yang perlu diperhitungkan dalam 'perjuangannya'. Memang tidak mudah, namun hidup adalah pilihan, jadi itulah konsekuensi dari sebuah pilihan.tinggal bagaimana kita memandangnya melalui 'jendela' yang lebih bersih dan luas.

Penulis berpendapat, untuk menjamin keadilan perspektif gender dalam penerapannya, maka sistem promosi dan mutasi pegawai memang perlu terus dibenahi. Meskipun usaha pembenahan itu sudah ada dan mulai terasa hasilnya. Terutama dalam hal keadilan gender.

Pegawai laki-laki yang sudah bertahun-tahun berpisah jauh dari keluarganya pun (baik dengan alasan yang kuat maupun yang kurang kuat), tentu menjadi 'merasa tidak adil'. Pandangan umum mengatakan, kodrat laki-laki adalah pemimpin rumah tangga sehingga kemungkinannya untuk 'diikuti' oleh keluarganya memang lebih besar. Dibandingkan perempuan yang secara kodrati adalah 'perdana menteri' dalam rumah tangga, sehingga tetaplah ia perlu berdiskusi dengan 'presidennya' apakah harus ‘berjauhan’ atau 'membawa' keluarganya dalam dinas.

Manakala ada transparansi kompetensi jabatan dalam berbagai ranah struktural maupun fungsional maka pengangkatan atau pemindahan suatu jabatan (promosi dan mutasi) akan dirasakan adil dan memiliki prespektif gender. Setiap orang baik laki-laki maupun perempuan akan berupaya dengan baik mengikuti aturan dan alur yang sudah disepakati. Keadilan gender menjadi lebih baik dan lebih sehat lagi. Tidak seorang pun yang merasa diperlakukan kurang adil dari sisi gender.

Implementasi pengarusutamaan gender masih sangat luas untuk dikupas. Penggambaran persoalan promosi dan mutasi tersebut hanya untuk membuka cakrawala dan wahana bahwa banyak dimensi lain dari gender mainstreaming yang dapat kita kembangkan.